Berangkat dari kesadaran tentang realitas atas tangkapan indra dan hati, yang kemudian diproses oleh akal untuk menentukan sikap mana yang benar dan mana yang salah terhadap suatu obyek atau relitas. Cara seperti ini bisa disebut sebagai proses rasionalitas dalam ilmu. Sedangkan proses rasionalitas itu mampu mengantarkan seseorang untuk memahami metarsional sehingga muncul suatu kesadaran baru tentang realitas metafisika, yakni apa yang terjadi di balik obyek rasional yang bersifat fisik itu.
Kesadaran ini yang disebut sebagai transendensi, di dalam firman Allah (Qs. Al-Maidah: 191), artinya: (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka. Bagi orang-orang yang beriman, proses rasionalitas dan spriritualitas dalam ilmu bagaikan keeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi yang lain merupakan satu kesatuan yang bermakna. Bila kesadarannya menyentuh realitas alam semesta maka biasanya sekaligus kesadarannya menyentuh alam spiritual dan begitupun sebaliknya.
Hal ini berbeda dengan kalangan yang hanya punya sisi pandangan material alias sekuler. Mereka hanya melihat dan menyadari keutuhan alam semesta dengan paradigma materialistik sebagai suatu proses kebetulan yang memang sudah ada cetak birunya pada alam itu sendiri. Manusia lahir dan kemudian mati adalah siklus alami dalam mata rantai putaran alam semesta. Atas dasar paradigma tersebut, memunculkan kesadaran tentang realitas alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi dalam rangka mencapai tujuan-tujuan hedonistis yang sesaat. Alam menjadi laboratorium sebagai tempat uji coba keilmuan atheistic, di mana kesadaran tentang Tuhan atau spiritualitas tidak tampak bahkan sengaja tidak dihadirkan dalam wacana pengembangan ilmu. Orientasi seperti ini yang oleh Allah dikatakan dalam Al-Qur’an, bukan untuk menambah kesyukuran dan ketakwaan, melainkan fenomena alam semesta yang diciptakan-Nya itu menambah sempurnanya kekufuran mereka, sebagaimana Firman Allah dalam surah Al-Isro’ ayat 94-100 yang artinya:
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka: "Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasuI?". “Katakanlah: "Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi Rasul". “Katakanlah: "Cukuplah Allah menjadi saksi antara Aku dan kamu sekalian. Sesungguhnya dia adalah Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya". “Dan barangsiapa yang ditunjuki Allah, dialah yang mendapat petunjuk dan barangsiapa yang dia sesatkan Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Dia. dan kami akan mengumpulkan mereka pada hari kiamat (diseret) atas muka mereka dalam keadaan buta, bisu dan pekak. tempat kediaman mereka adalah neraka jahannam. tiap-tiap kali nyala api Jahannam itu akan padam, kami tambah lagi bagi mereka nyalanya”. “Itulah balasan bagi mereka, Karena Sesungguhnya mereka kafir kepada ayat-ayat kami dan (karena mereka) berkata: "Apakah bila kami Telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk baru?". “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah Kuasa (pula) menciptakan yang serupa dengan mereka, dan Telah menetapkan waktu yang tertentu[868] bagi mereka yang tidak ada keraguan padanya? Maka orang-orang zalim itu tidak menghendaki kecuali kekafiran”. “Katakanlah: "Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, Karena takut membelanjakannya". dan adalah manusia itu sangat kikir”. (Qs. Al-Isra’: 94-100).
0 komentar:
Posting Komentar