Aku tidak mengerti sebenarnya apa isi kepalamu. Kau memintaku
melakukan sesuatu, kau katakan sangat mencintaiku. Hei jangan buru-buru,
betulkah kau sudah mengenalku? Sedang kita samasekali belum pernah bertemu.
Hujan luruh menderas membasahi jendela kaca kamarku. Lelehan air menari-nari
seakan ingin menggoda. Seperti kamu, suka menggoda tapi tak mau bertanggung
jawab. Suka mengirimi puisi tapi anonim. Suka menuliskan cerita tapi pena. Suka
menari-nari di pikiranku dengan sendirinya. Setelah itu, dengan bebas kau
melenggang pergi. Curang.
Jejakmu terlalu banyak, sulit aku memungutinya. Sosokmu masih abstrak, sukar
aku menyatukannya menjadi sewujud manusia yang utuh. Untuk kemudian kuabadikan
dalam ingatanku. Seseorang yang katanya teramat mencintaiku. Benarkah? Kau
bohong. Seorang yang mencintai
tidak mungkin tega membohongi kekasihnya, membuatnya terluka dan merana.
Malam ini aku tak sendirian. Ada Putri yang akan menginap di kamarku.
Syukurlah, jadi kegilaanku atas rasa penasaran ini cukup tereduksi.
Adiksi yang menjalar tiap malam lumayan tak parah. Asal kau tahu,
semenjak kau mengirimkan sinyalmu bertahun-tahun lalu, malamku jadi tak pernah
tenang. Ada-ada saja warna rasa yang kurasakan. Entah itu tertawa bahagia sendirian
(mungkin kala itu aku mengalami penyakit setengah gila), senyuman yang
tiba-tiba atau kesedihan yang mendalam. Aku ingat, kuhitung saat itu adalah
menangis terlama seumur hidupku. Lebih dari tiga jam. Sampai paginya mataku
bengkak. Dan itu semua gara-gara sesosok manusia yang berasal dari planet maya
yang aku tak tahu sejatinya seperti apa.
“Kau percaya cinta dunia maya, Put?”
“Mau dibilang percaya, aku percaya…?”
“Saat orang menyatakan cintanya padamu?”
“Aku tetap percaya. Tapi aku tidak akan menghormatinya...”
Bahasa Naila terdengar ambigu, “maksudmu?”
“Berarti dia tidak punya cukup keberanian, dan itu tentu akan mengurangi poin
penilaianku terhadapnya.”
Sejenak aku berpikir. Sejauh ini aku tak sampai berpikir begitu. “Kalau aku
akan percaya jika dia sudah keluar dari sana dan muncul di dunia nyata,”
celetukku.
“Itu kau lebih parah dariku. Setidaknya aku sudah percaya,” balasnya.
Air hujan masih deras mengalir. Kupandangi terus, lambat laun seakan aku
melihat pantulan wajahnya disana. Dia bukan manusia, dia hantu. Dan mungkinkah
hantu jatuh cinta pada manusia?
Sejujurnya aku bohong. Siapa pula yang tak percaya dia ada. Hatiku berontak,
terus-terusan melakukan demonstrasi agar aku tetap mempertahankan namanya
disana. Aku harus percaya yang mana? Realita atau isi hati?
“Namanya Nadya, Put. Aku memukannya tanpa sengaja saat aku sedang mencari
jawaban. Dia datang pada saat aku terlihat sangat berantakan. Kalau
mengingat-ingat masa itu aku jadi malu sendiri. Kukira dia adalah orang yang
mampu membantuku menyelesaikan kegelisahan-kegelisahan yang menimpa hidupku
dulu. Tentang kesendirian, keterasingan, kelabilan yang butuh disembuhkan. Eh,
belum apa-apa dia sudah jatuh cinta duluan. Apakah aku tampak menggoda, Nay?
Kukira tidak. Setelahnya aku tahu, ternyata dia sendiri juga butuh pertolongan.
Aku pikir ia adalah jawaban yang dikirim Yang Maha Kuasa sebagai resolusi akhir
permasalahan. Oh, tak tahunya malah awal dari sebuah konflik baru. Perlahan
kita saling jatuh cinta dan beberapa konflik batin pun tak terelakkan. Kau tahu
sendiri bagaimana rasanya menjalin hubungan di dunia virtual. Malah kadang aku
kerap merasa kehilangan diriku sendiri. Padahal aku ingin sekali ia melihat
diriku yang sesungguhnya. Agar kemudian ia bisa mempertimbangkan perasaannya
kembali. Aku takut dia kecewa, Put …”
“Saat ia bilang cintanya semakin dalam, kian kuat pula rasa ketakutanku pada rasa
itu. Aku merasa bersalah. Aku merasa seperti seorang penjahat yang telah
menculik seorang anak kecil dari pangkuan ibunya. Telah banyak hidupnya
kucampuri padahal aku bukan siapa-siapa. Sesungguhnya, aku hanya butuh teman
yang mau kuajak berbagi. Sejengkal pun aku tidak pernah menariknya agar jatuh
cinta. Aku ingin hubungan kami biasa, saling bercerita satu sama lain. Tapi apa
mau dikata, perhatiannya sungguh hebat. Ikut pula aku terbawa oleh dunianya…”
“Aku jatuh cinta…”
Lagi, seakan aku terbawa pada kisahku sendiri. Suaraku sedikit parau. Tapi aku
tak mau menangis. “Tidak seperti yang kamu katakan, aku yakin ia pria
pemberani. Mungkin ia punya alasan yang kuat kenapa ia bertindak begitu.
Mungkin saja sebenarnya aku dan dia belum siap. Masih terbawa pada bunga-bunga
cinta hingga melupakan hal-hal lain. Ditambah Aku masih belum memiliki
kepercayaan diri lagi untuk jatuh cinta pada lelaki. Kau tahu, meski ada sejuta
pria yang bilang aku cantik, aku menarik, aku masih belum percaya. Ada sesuatu
dalam diriku yang terus-terusan mengutuki diri sendiri bahwa aku adalah si
buruk rupa yang tak layak dicintai maupun bersanding dengan lelaki manapun. Dan
tololnya, aku percaya saja. Memang aku buruk kan?”
Suara itu jahat, selalu memaksaku, selalu
membuatku patuh pada setiap omongannya. Dan sayangnya aku selalu kesulitan
untuk mengusirnya. Ia seperti telah menguasaiku.
Kali ini aku tak dapat membendung air mata. Aku menangisi kisahku sendiri. Putri
turut pula terdiam, selanjutnya tangannya meraih pundakku dan kami saling
berpelukan.
“Nggak apa-apa… semuanya akan baik-baik saja…” ucapnya lirih.
Hujan masih belum reda. Sementara pikiranku masih melayang pada pria yang entah
berada di belahan bumi yang mana. Ia sekarang bersama siapa aku tak tahu. Ia
telah berhasil mencuri sebagian diriku. Dan tak tahu ia letakkan dimana.
Berniat menagih pun percuma, aku tak punya bukti apa-apa.
“Cukup jatuh cinta saja. Aku tak hendak
ingin harapkan yang lebih-lebih. Aku lelah, Put, ingin tidur…”
0 komentar:
Posting Komentar