Di dalam sejarah filsafat kelihatan aka pernah menang, pernah kalah; hati pernah berjaya, juga pernah kala; pernah juga kedua-duanya sama-sama menang. Di antara keduanya dalam sejarah, telah terjadi pergemulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia. Yang dimaksud dengan akal disini ialah akal logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati ialah rasa yang kira-kira bertempad di dalam dada. Akal itulah yang menghasilkan pengetahuan yang logis yang disebut filsafat, sedang hati pada dasarnya mengasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik; iman termasuk disini.[1]
· Thales
Thales (624-546), orang Miletus itu degelari Bapak Filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat. Gelar itu diberikan katena ia mengajukan pertanyaan yang amat mendasar, yang jaran diperhatikan orang, juga orang zaman sekarang.What is the nature of the world stuff?.[2]Apa sebenarnya bahan alam semesta ini? Tidak bisa dipungkiri lagi, pertanyaan itu amat mendasar sekalai. Terlepas dari apa pun jawabannya, pertanyaan itu saja sudah mengangkat namanya menjadi filosof pertama. Ia sendiri menjawab air. Jawaban ini sebenarnya amat sederhana, dan belum tuntas. Karena timbul pertanyaan kedua, yaitu; dari mana air itu? Thales mengambil air sebagai asal alam semesta barngkali karen ia melihatnya sebagai sesuatu yang amat diperlukan dalam kehidupan, dan menurut pendapatnya bumi ini terapung di atas air.[3]
· Anaximander
Anaximander mencob menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal dan ada dengan sendirinya.[4]Akan tetapi Anaximenes mengatakan itu udara. Udara merupakan sumber segala kehidupan, demikian alasannya.
Pembicaraan ketiga filosof tersebut telah menunjukkan bahwa di dalam filsafat terdapat lebih dari satu kebenaran tentang satu persoalan. Sebabnya, bahwa bukti kebenaran teori filsafat terletak pada logis atau tidaknya argument yang digunakan bukanlah terletak pada kongklusi (kesimpulan).
· Heraclitus
Paham relativisme semakin mempunyai dasat setelah Heraclitus (544-484 SM) menyatakan,“You can not step twice into the same river; for the fresh waters are ever flowing upon you” (Engkau tidak akan dapat terjun ke sungai yang sama dua kali karena air sungai itu selalu mengalir).[5]
Menurut Heraclitus alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah; sesuatu yang dingin berubah menjadi panas, yang panas menjadi dingin. Itu menunjukkan bila kita hendak memahami kehidupan kosmos, kita mesti menyadari bahwa kosmos itu dinamis.
· Parmanides
Parmanides adalah salah seorang tokoh relativisme yang penting, kalau bukan yang terpenting. Dalam The Way of truth Parmanides bertanya: Apa itu standar kebenaran dan apa realitas? Bagaimana hal itu dapat dipahami? Ia menjawab: ukurannya ialah logika yang konsisten. Perhatikanlah contoh berikut. Ada tiga cara berpikir tentang Tuhan: (1). Ada, (2). Tidak ada, (3). Ada dan tidak ada. Yang benar ialah ada (1) tidak mungkin meyakini yang tidak ada (2) sebagai ada karena yang tidak ada pastilah tidak ada. Yang (3) pun tidak mungkin karena tidak mungkin Tuhan itu ada dan sekaligus tidak ada. Jadi, benar tidaknya suatu pendapat diukur dengan logika. Di sinlah masalah muncul. Bentuk ekstrem peryataan itu ialah bahwa ukuran kebenaran adalah akal manusia.[6]
· Protagoras
Protagoras mengatakan bahwa Manusia adalah ukuran kebenaran,[7]pernyataan Protagoras merupakan tulang punggung humanisme. Akan tetapi perlu dipertanyakan kembali bahwa yang dimaksudkan manusia di atas itu adalah manusia individu ataukah manusia pada umumnya. Kedua hal tersebut menimbulkan konsekuensi yang sungguh sangat berbeda.
Akan tetapi sayang sekali, karena tidak ada jawaban yang pasti, mana yang dimaksud Protagoras, tetapi yang jelas Ia mengatakan bahwa kebenaran itu bersifat pribadi. Akibatnya tidak ada ukuran yang absolut dalam etika, metafesika, maupun agama. Bahkan teori matematika tidak juga dianggapnya mempunyai kebenaran yang absolut.[8]
· Socrates
Ajaran bahwa kebenaran semuanya relatif telah menggoyahkan teori-teori Sins yang telah mapan, mengguncangkan keyakinan agama. Hal ini menyebabkan kekacauan dan kebingungan dalam kehidupan. Berawal dari inilah Socrates bangkit dan meyakinkan orang khususnya orang Athena dengan mengatakan tidak semua kebenaran relatif; ada kebenaran yang umum yang dapat dipegang oleh semua orang. Sebagian memang kebenaran relatif akan tetapi tidak semuanya.
Antara tahun 421 dan 416 SM adalah masa-mas buruknya hubungan antara Athena dan Sparta. Priode ini menyaksikan kebangkitan Alcibeades, salah seorang murid Socrates. Akan tetapi ia pula yang menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kehancuran Athena. Di bawah sposor itulah pada tahun 399 SM Socrates dituduh dengan dua tuduhan: merusak pemuda dan menolak Tuhan-tuhan negara.
Akan tetapi walaupun Socrates diadili dan dihukum mati, Ia berhasil dengan menerapkan teorinya dalam menemukan kebenaran. Teori yang digunakan Socrates merupakan teori yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan dengan menganalisis pendapat-pendapat dari semua orang.
Adapun metode atau teori yang digunakan Socrates biasanya dikenal dengan Dialektika, dari kata kerja Yunani dialegesthai yang berarti bercakap-cakap atau berdialog. Metode inilah yang dinamakan dialetika karena dialog mempuyai peranan penting didalamnya. Dan bahkan sampai sekarang teori Socrates dikembangkan oleh selurauh umat manusia.
Refrensi
· Tafsir, Ahmad –Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990.
· Mayer, Frederick, 1950, A History of Ancient & Medieval Philosophy, New York: American Book Company.
· Haeder Nashir, 1990, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, Bandung: Pustaka.
· Hanafi, A., 1981, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, Jakarta: Al-Husna.
0 komentar:
Posting Komentar