A. Menggapai Kenyataan yang Terdalam
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dan yang tertua di antara segenap para filsuf Barat yang kita kenal pula yaitu berna Thales. Atas perenungannya terhadap air yang terdapat dimana-mana, smpai ia berkesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Kesimpulan yang kita harus ambil bukanlah ajaran-ajarannya yang mengatakan bahwa air itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu substansi.
· Ontologi yang Bersahaja
Kebanyakan orang setidak-tidaknya mengadakan pembedaan antara barang-barang yang dapat dilihat, diraba, yang tidak bersifat kejasmanian atau yang dipahamkan “jiwa”. Kadang-kadang kebanyakan orang menjumpai mereka yang berpendirian bahwa sesungguhnya jiwa itu tidak ada , yang ada dalam kenyataannya ialah barang-barang kejasmanian. Pendirian yang demikian ini tidak begitu diperhatikan, demi pertimbangan keselamatan diri mereka.
· Ontologi Kuantitatif dan Kualitatif
Ontologi dapat mendekati masalah hakekat kenyataan dari dua macam sudut pandang. Misalnya; Orang dapat mempertanyakan, “Kenyataan itu tunggal atau jama?” yang demikian ini merupakan pendekatan kuantitatif terhadap ontologi. Sedangkan orang juga dapat mengajukan pertanyaan. “Dalam babak terakhir, apakah yang merupakan kenyataan itu?” yang demikian ini merupakan pendekatan secara kualitatif bagi ontologi. Kiranya jelas, jika penyifatan-penyifatan yang satu dan sama dapat diberika kepada segenap segi kenyataan, maka kenyataan itu tunggal. Kesimpulannya dapat di ditarik, karena jika terdapat dua bagian kenyataan yang berbeda-beda, maka karena keadaannya yang berbeda-beda itu, pastilah ada salah satu penyifatan yang tidak dapat diberikan kepada seluruh kenyataan yang ada.
· Ontologi Monisnistik
Lama berselang di Yunani kuno, Parmenindes mengatakan, kenyataan itu tunggal adanya, dan segenap keanekaragaman, perbedaan serta perubahan, bersifat belaka. Dewasa ini sistem monistik seperti itu tidak umum dianut orang, karena justru perbedaanlah yang merupaka kategori dasar segenap kenyataan yang ada yang tidak dapat disangkal lagi kebenarannya.
B. Istilah-istilah Dasar dalam Ontologi
1. Yang-Ada (being) dan Yang-Tiada (non-being)
Istilah ‘ada’ boleh dikatakan senantiasa menunjuk suatu ciri yang melekat pada apa saja, bahkan pada segala sesuatu. Oleh karena itu, ia merupakan pengertian paling umum dan paling bersahaja dari sifat manapun juga. Adanya sifat tersebut tidaklah meyebabkan barang yang satu berbeda dengan barang yang lain.
YANG-SUNGGUH ADA DAN YANG-MUNGKIN ADA, sesungguhnya, kalimat terakhir di atas menggambarkan terdapatnya perbedaan dalam lingkungan yang-ada. Yang-ada, yaitu segenap hal yang dapat diterapi, pengertian ‘ada’ dapat dibagi dua.
o Yang-sungguh ada.
o Yang-mungkin ada.
Sebagai tambahan atas klasifikasi yang demikian ini, lingkungan yang ada tersebut dibagi lebih lanjut dalam:
o Yang-nyata ada/ yang-ada dalam kenyataan.
o Yang-nampaknya ada/ yang-ada dalam keampakan/ yang ada dalam pikiran/ yang-ada sebagai pikiran.
Yang-nyata ada dan yang-tampak ada. Untuk memberikan sekedar gambaran yang lain, perhatikan contoh yang sering dipakai dalam suatu penjelasan yaitu: mengenai tongkat yang (tampaknya) bengkok bila dicelupkan kedalam air. Dal hal ini, sudah jelas benar bahwa orang dapat memilahkan antara tongkat sebagai yang-nyata ada dengan tongkat sebagai yang-tampak ada. Bahwasanya tongkat sebagai yang-nyata ada memang ada, kiranya sudah terang dengan sendirinya. Tetapi sesungguhnya tongkat sebagai yang-nampak ada, yatiu menampakkan diri kepada kita, itupun salam arti tertentu juga ada. Karena itu dikatakan bahwa sifat ada terdapat baik pada tongkat sebagai yang nyata ada, maupun pada tongkat yang menmpak kepada kita.
YANG-ADA DAN YANG-TIADA,ditinjau secara ungkapan, ‘tiada’ tidak sama dengan ungkapan ‘mempunyai sifat ada’. Begitu pula ungkapan yang terakhir tadi bukan merupakan hasil penjabaran ungkapan yang pertama. Berbeda halnya dengan ungkapan ‘ada dalam kesanggupan’ yang dihubungkan dengan ungkapan ‘ada dalam kemungkinan’. Yang-sungguh ada dan yang-mungkin ada’ keduanya termasuk pengertian ‘yang-ada’. Dengan kata lain, ‘yang-ada’ merupakan salah satu jenis ‘yang-ada’; dan tidak dapat dikatakan termasuk ‘yang-ada, dalam arti bahwa ‘yang-mungkin ada’ itu tidak ada.
2. Kenyataan dan Kenampakan
YANG-NYATA ADA PASTI ADA, di atas sudah dibedakan antara yang sungguh-ada dengan yang mungkin-ada, juga antara yang-nyat ada dengan yang-napak ada. Tetapi yang ditekankan disini mengenai makna yang terkandung dalam perkataan ‘nyata’. Pertama-tama hendaknya diingat, apapun yang bersifat antara, pasti ada. Tetapi sesuatu yang masih dalam kemungkina ada, kiranya sulit untuk dikatakan nyata. Namaun kadang-kadang kita cenderung mengatakan bahwa yang-mungkin ada bersifat nyata, untuk membedakannya dengan yang-nampak nyata ada yang bersifat tidak nyata.
KENYATATAAN TIDAK BERSIFAT SEMESTA, pada umumnya dapat dikatakan, pernyataan yag berbentuk ‘X bersifat nyata’ tidak senantiasa mengandung kebenaran. Benar-tidaknya pernyataan tersebut tergantung pada nama yang disebutnya. Yaitu tergantung pada nama yang dipakai sebagai pengganti.
C. Refrensi
· Kattsoff. Louis O. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2004, Cet. IX.
· Duscasse, C.J., philosophy as a Science (New York: Haffner Publishing Co., 1941).
· Eaton, Ralph (ed.), Descartes Selection (New York: Charles Scribner’s Sons, 1927).
· Gillin, John, The Ways of Man (New York: Appleton-Century- Crofts, Inc., 1948).
0 komentar:
Posting Komentar